Penggembala Domba
Suatu hari, di bawah
pohon yang hampir mati karena kekeringan. Duduk seorang anak kecil, bertampang
lesu, berpakaian lusuh, mukanya berhiaskan debu. Dia sedang melamun sambil
menggenggam kayu, yang digunakannya sehari-hari untuk mengatur domba yang
digembalakannya.
Dia bernama Syaiful. Namun dia sering dipanggil dengan atim, karena
tetangga-tetangga tahu bahwa dia seorang anak yatim. Oleh sebab itu mereka
memanggilnya Atim.
Atim, anak kecil dari desa bintang. Sebuah desa kecil yang berada di tepi
sungai langitan, dan berada tepat diantara dua desa yakni bulan dan samudera.
Desa bintang merupakan desa yang paling tandus, karena hanya berada di tepian
sungai. Beda dengan desa, Bulan dan desa Samudera, keduanya dilewati langsung
oleh sungai Langitan. Oleh sebab itu dua desa tersebut terkenal desa yang amat
subur.
Warga desa Bulan dan warga desa Samudera, karena tanah mereka subur maka
kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani. Mereka menanami lahan mereka
dengan bercocok tanam segala hal yang bisa mereka tanam, berbeda dengan desa
Bintang. Karena tandus maka rata-rata penduduk desa Bintang pun jarang sekali
yang bekerja sebagai petani. Kebanyakan dari mereka adalah peternak domba dan
sapi. Sesekali dari mereka mencoba untuk bercocok tanam, tapi tidak sedikit
dari mereka yang gagal. Mungkin itulah cara Tuhan untuk membuat mereka
bersyukur, bahwa Allah menciptakan rezeki yang berbeda-beda diantara anak Adam.
Atim, dia adalah salah satu dari sekian anak desa yang dilahirkan di desa
Bintang, dia termasuk anak yang kurang beruntung. Dia termasuk anak yang sangat
sederhana, dia terlahir dari kehidupan yang keras. Dengan berbagai macam cobaan
dan ujian yang merintanginya. Anak-anak desa Bintang, memang sedari kecil akan
belajar menggembala, karena orang tua mereka pun penggembala. Namun, karena
masih anak-anak maka mereka pun masih dalam taraf belajar. Berbeda sekali
dengan nasib yang menimpa atim, dia hanyalah anak yatim. Dia tidak memiliki
seorang ayah yang mengajarinya untuk menjadi seorang pengembala hebat. Dia
hanya punya seorang ibu, yang hanya bekerja sebagai buru cuci pakaian.
Dia terlempar pada kehidupan yang amat keras, dia menyadari bahwa ini memang
kehidupan.
Tapi dia tidak mau menyerah, dia tetap menjadi seorang pengembala kambing,
meskipun hanya sebatas mengembalakan domba milik tetangganya. Cacian dan makian
sangat sering dia terima, teguran dan umpatan juga sering dia rasakan dari
tetangganya apabila domba yang dia gembalakan telat kembali ke kandang atau
bahkan hilang. Itu dianggapnya sebagai proses pembelajaran hidup, yang membuat
dia semakin kuat dan semakin tegar. Itu membuat dia semakin dewasa, bahwa
kehidupan selalu berjalan dan takkan berhenti meskipun kita mengharapkan
kehidupan berhenti sejenak dan berpihak pada kita.
Keseharian atim normal-normal saja, semua dijalaninya apa adanya. Pagi hari dia
bangun dari tidur, diapun pamit ke ibunya untuk mengembalakan domba. Sedangkan
ibunya pergi ke rumah-rumah warga barangkali ada yang butuh jasa cuci pakaian.
Itu berlalu terus menerus, sampai ketika pada suatu malam. Ketika atim sedang
perjalanan pulang kerumah, dia mendapati rumahnya sedang sepi, dia tidak tahu
kemana ibunya pergi. Dia mencari ke tetangga-tetangga, tapi ibunya tidak ada.
Hingga dia menemukan ibunya sedang terbaring lemas di rumah pak Tarjo, salah
satu warga yang sudah biasa menggunakan jasa cuci ibunya. Pak tarjo berkata,
ibunya habis jatuh karena memaksakan diri menjemur pakaian padahal badannya
panas sekali. Atim ingin membawa ibunya pergi ke pengobatan di desa seberang,
tapi Atim mengurungkan niatnya karena ibunya tidak mau. Atim pun hanya bisa
menjaga ibunya sesuai dengan apa yang dia bisa, ruang pojok kamar dengan hiasan
lampu kecil menjadi saksi betapa lemahnya kondisi ibunya saat itu. Angin
sepoi-sepoi membuat keadaan menjadi tidak memungkinkan bagi ibu surtini “ibu
atim” karena sedang dalam keadaan sakit.
Allah hu akbar Allah hu akbar, Allahu akbar Allah hu akbar. Suara adzan sudah
berkumandang, seperti biasanya Atim pun terbangun untuk bersiap melaksanakan
shalat subuh. Dia tidak menyadari bahwa dirinya tertidur pulas di sebelah tempat
ibunya terbaring. Begitu bangun dia begitu kaget bukan kepalang, karena ibunya
tidak menjawab panggilannya. Berkali-kali dia mengajak ibunya untuk shalat,
berkali-kali pula ibunya menjawab dengan kebisuan. Karena hari masih petang,
bahkan ayam pun masih berada di peraduannya. Maka suara jeritan Atim pun
terlihat sangat keras, karena tidak ada suara lain saat itu yang sedang
berbicara. Karena suara adzan pun sudah berlalu. Warga segera berkumpul kepada
suara tempat asal jeritan, mereka semua menahan kaget dan isak tangis ketika
mendapati saudara mereka. Orang yang berjasa membersihkan baju mereka ternyata
dipanggil Allah SWT. Innalillahi wainna ilaihi rojiun, begitu kata mereka.
Menandakan bahwa semua milik Allah, dan akan kembali pada Allah SWT.
Selang beberapa minggu dari kematian sang ibu, Atim lebih sering terlihat
merenung. Adapun pak Tarjo, yang kini memilih mengasuhnya sangat mengetahui
kondisi itu.
Setiap hari, setiap pak Tarjo mengajak Atim untuk makan di ruang tamu Atim
hanya membalas ajakan tersebut dengan seribu diam dan seribu tatapan kosong.
Hanya tembok, tempat tidur, selimut dan bantal yang menjadi teman setia Atim
berhari-hari. Kalaupun rasa lapar benar-benar datang, Atim lebih memilih
mengambil makanan seperlunya saja.
Melihat kondisi ini, pak Tarjo mencoba mencari solusi. Dia pun membelikan atim
beberapa domba agar dia bisa mengembalakan kambing miliknya sendiri tanpa harus
mengembalakan kambing punya orang lain.
Sekilas Atim terlihat senang, karena dia memiliki domba sendiri. Dimana domba
adalah penghasilan utama bagi penduduk di desanya. Tapi itu tak berlangsung
lama, dia kembali lagi kepada posisi yang membuatnya nyaman. Atim lebih sering
menghabiskan waktu merenung dibawah pohon. Bahkan merenung yang dialaminya
benar-benar tingkat akut. Tidak ada kegiatan yang lebih mengasyikan baginya
selain merenung. Domba-domba miliknya dibiarkan merumput begitu saja tanpa ada pengawasan
yang jelas darinya.
Suatu hari, ketika matahari mulai menunjukan akhir kehidupannya maka Atim pun
memutuskan untuk pulang kerumah. Tidak lupa dia menggiring semua domba-domba
nya untuk dibawanya pulang kembali ke kandang yang beberapa hari lalu dibuat
oleh pak Tarjo. Sebelum dia memasuki kamar, pak Tarjo pun segera menghampirinya
dan menyuruhnya untuk segera mandi karena pak tarjo mau mengajaknya shalat
berjamaah di masjid sekaligus ikut pengajian.
Atim pun mau, selain untuk menghormati orang yang sudah mengasuhnya, sebenarnya
Atim memang anak yang baik dan suka beribadah sebelum ibunya meninggal. Hanya
saja ketika ibunya meninggal dia lebih sering menghabiskan waktu untuk merenung
daripada harus beribadah dan melakukan aktifitas lainnya. Kondisi itulah yang
akhirnya semakin hari semakin membuat pak Tarjo prihatin.
Waktu cepat berlalu, pengajian pun usai. Dalam perjalanan kerumah pak Tarjo
terlibat diskus dengan Atim sambil satu dua kata melontorkan pertanyaan kepada
atim tentang materi yang di dapat selama pengajian tadi.
Atim pun hanya bisa garuk-garuk kepala dan geleng-geleng kepala, karena memang
dia tadi hanya melamun saat pengajian berlangsung. Dia tidak memperhatikan sama
sekali pengajian yang sedang berlangsung.
Melihat ekspresi Atim yang lebih mirip orang kebakaran jenggot pak Tarjo pun
sudah paham, bahwa gelagat yag ditunjukan Atim adalah gelagat orang yang tidak
paham.
Dia pun berkomunikasi satu arah pada Atim, seolah dialah penceramah Atim yang
sesungguhnya dan seolah dia tidak peduli sama sekali pada nyanyan jangkrik di
pinggir jalan. Seolah dia tidak peduli pada suara burung malam yang mengiringi
betapa gempitanya malam itu.
Dia mulai bercerita, tadi bapak ustadz bercerita bahwa hidup itu penuh misteri.
Ada kalanya kita bahagia, ada kalanya kita duka. Ada kalanya kita diatas, ada
saatnya kita terjatuh. Itu misteri kehidupan.
Bahkan Rasulullah Muhammad pun manusia yang tidak lepas dari masalah itu.
Rasulullah Muhammad SAW ketika ditinggal meninggal oleh istrinya tercinta
Khadijah RA dan paman sekaligus pelindungnya Abu Thalib juga mengalami tekanan
yang amat luar bisaa. Dia seoah-olah menjadi manusia yang tidak memiliki
motivasi hidup. Dia manusia yang amat sangat tertekan saat itu, dan cenderung
menyalahkan Allah bahwa Allah SWT tidak adil dalam kehidupan manusia di dunia.
Namun saat itu nabi langsung ditegur oleh Allah melalui surat yang berbunyi :
“1. demi waktu matahari sepenggalahan naik, 2.
dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), 3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu
dan tiada (pula) benci kepadamu, 4. dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih
baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan) 5. dan kelak Tuhanmu pasti
memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas. 6. Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? 7. dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. 8. dan
Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
9. sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang. 10.
dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. 11. dan
terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (adl-Dluhaa: 1-11)
Atim itu hampir sama dengan kisah itu, Atim itu yatim sama seperti nabi. Begitu
kata pak Tarjo dengan nada lembut kepada Atim. Atim ditinggal pergi orang yang
dicintai sama seperti nabi yang ditinggal pergi orang-orang yang dicintainya
karena dipanggil Allah SWT. Tapi puji sukur Allah, dia telah menurunkan
Rasulullah Muhammad. Dan Muhammad telah memberi contoh yang baik bagi umatnya.
Bahwa kita tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan, kita harus patuh pada
perintah Allah SWT dalam surat Adl-Dluhaa.
Atim gak boleh sedih lagi, Atim gak boleh murung lagi, Atim harus semangat, Atim
harus giat mengembalakan domba-dombanya. Atim harus tabah, Atim harus ikhlas
karena semua milik Allah.
Selesai pak Tarjo bicara, Atim tidak bisa berbuat apa-apa selain memeluk tubuh
pak tarjo. Sambil terlihat sesekali dia meneteskan air mata yang terlihat
membasahi sarung pak Tarjo meski hanya setetes dua tetes. Keesokan harinya Atim
berubah, dia menjadi pribadi yang jauh lebih baik, dia begitu semangat
menjalani hidupnya, dia selalu tersenym dengan orang-orang yang ditemuinya, dia
menjadi pribadi yang amat sangat ramah. Itulah atim, seorang anak pengembala
domba yang mencoba bangkit dari masalah yang dihadapinya, seorang anak dari
desa Bintang yang terjatuh karena dilema kehidupan. Namun dia mampu bangkit
karena itu tuntutan sebuah kehidupan. Itu cerita tentang Atim seorang anak desa
yang memiliki garis hidup yang luar biasa. Dialah Atim, sang pengembala domba
yang sadar. Bahwa kehidupan memang berputar adanya, jalani dengan tabah. Sukuri
nikmat yang diberi Allah dengan senyuman.
Created by Dani Camara